Kamis, 20 Agustus 2009

Jalan (Tak Terlalu) Sunyi Calcio

Setelah sempat terlihat adem ayem saja, klub-klub Italia mulai menggeliat di pasar transfer musim panas ini. Dapatkan langkah itu mendongkrak prestasi sepakbola Italia?

Di Spanyol, Real Madrid menjadi motor arus perpindahan pemain-pemain bintang dengan mendatangkan Kaka, Cristiano Ronaldo, Karim Benzema dan Xabi Alonso. Uang yang berputar jelas tidak sedikit.

Menyeberang lautan sedikit ke utara, Liga Inggris juga tak kalah giat bertransaksi. Dipimpin oleh Manchester City, banyak pemain bintang seperti Carlos Tevez, Emmanuel Adebayor dan Michael Owen berganti kostum; meski beberapa di antaranya terjadi di kalangan mereka sendiri.

Italia seperti sedang berjalan santai di belakang kompetitor yang berlari. Para klub penghuni negeri semenanjung itu, terutama klub-klub besar yang punya kekuatan finansial lebih baik, terlihat enggan menggelontorkan uang banyak-banyak untuk menambah kekuatan. Kehilangan pemain sekelas Kaka semakin menenggelamkan pamor calcio.

Kondisi ini jauh berbeda dengan yang terjadi di akhir 1990-an dan awal 2000-an. Saat itu, klub-klub Italia bagai berlomba-lomba mencetak nilai transfer raksasa. Rekor yang pernah menempel di nama-nama seperti Hernan Crespo, Gianluigi Buffon atau Christian Vieri seakan tinggal kenangan.

Imbasnya jelas kepada kemeriahan kompetisi. Minimnya kehadiran pemain-pemain bintang tidak hanya akan membuat para penonton malas hadir di stadion, tetapi juga dapat mengurangi gairah mereka menyaksikan pertandingan di layar televisi.

Mengherankan, dengan sejarah yang panjang dan fanatismenya yang mengakar, Italia justru menjadi tempat di mana keterisian stadionnya termasuk yang terendah di Eropa. Musim lalu, cuma Milan dan Inter yang rataan penontonnya cukup tinggi, sekitar 54-55 ribu penonton per partai. Jumlah ini jauh di bawah angka rataan Manchester United yang 75 ribuan penonton atau bahkan Borussia Dortmund dan Schalke 04 yang rataannya di atas 60 ribu penonton.

Belum lagi soal prestasi. Di dunia sepakbola modern, rasanya terlalu naif untuk tidak mengukur pencapaian di lapangan dengan aktivitas sebuah klub di bursa transfer. Adagium bahwa sukses itu mahal mungkin terasa pahit, tetapi benar adanya.

Italia sudah mengecap rasa malu akibat kegagalan wakil-wakil mereka di pentas Eropa, utamanya di Liga Champions, di dua musim terakhir. Di Liga Champions musim 2007-08, Roma menjadi tim Italia terbaik dengan maju ke perempatfinal. Musim lalu lebih buruk. Tak ada satu pun tim yang bisa lolos ke fase 8 Besar.

Bila masih memilih untuk terus-terusan pasif, sulit untuk mengharapkan Italia bisa menempatkan wakilnya sebagai jawara Eropa seperti yang dilakukan Milan tahun 2007. Lebih sulit lagi mengharapkan All Italian Final seperti terjadi tahun 2003.

Untunglah, belakangan klub-klub Italia sudah lebih agresif. Selain saling bertransaksi di antara mereka sendiri, sejumlah nama penting juga berhasil didatangkan ke negeri Pizza dari luar.

Nama-nama bintang seperti Lucio, Diego Ribas da Cunha, Samuel Eto'o dan Klaas Jan Huntelaar dipastikan akan meramaikan Seri A musim 2009-2010. Belum lagi perpindahan-perpindahan internal semacam Diego Milito atau Felipe Melo.

Memang, transfer-transfer itu kalah glamor dari sisi harga. Bayangkan, transfer termahal yang dibayarkan klub Italia adalah saat Juventus mengucurkan dana 26,5 juta euro untuk menggaet Diego dari Werder Bremen. Jauh bila dibandingkan dengan Madrid yang sudah membayar lebih dari 200 juta euro atau Manchester City yang telah membayar nyaris 100 juta poundsterling untuk menggaet bintang-bintangnya.

Namun tak apalah, setidaknya jalan yang ditempuh klub-klub Italia saat ini tidak lagi terlalu sunyi. Belum segegap gempita seperti yang diperlihatkan tetangganya, memang. Tapi titik terang itu sudah ada di ujung terowongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar